Senin, 29 April 2013

Tetesan Air Mata Ibu

Tetesan Air Mata Ibu Oleh: Mulyadi Saputra (Moel) Saat Udin ingin pergi merantau ke Jakarta Ibunya membekali pesan yang akan jadi tumpuan hidup di kampung orang baginya.Ucapan itu yang terdengar di telinganya pagi itu. “Din…hati-hati di sana. Raihlah cita-citamu. Jadilah orang yang berguna.” Ia bersalaman dan mencium tangan Ibunya. Sunarti sangat sedih sekali karena Udin adalah anak simata wayang. Ibunya berbisik sedikit terputus dengan isakan tangis kecil yang tak kuat lagi ia tahan. “ Oh…Tuhan berilah anakku keselamatan, jadikan ia orang yang berguna nantinya, kabulkanlah apa yang tersirat di benaknya.” Saat itu sang Ibu meneteskan air mata dan mengenai kepala Udin. Sang Ibu terus melihat kepergian anaknya sampai termakan oleh tebalnya embun pada pagi itu. Setelah kepergian Udin, sang Ibu selalu sedih dan menangis teringat anak tercinta dan nasibnya di kampung orang. Begitu pula Udin selama di perjalanan ia juga selalu menangis dan merasa bayangan ibunyalah yang duduk di depan kursinya. *** Setahun lamanya Udin pergi dari kampung halamannya. Sang Ibu terus menanti kabar anaknya tercinta itu. Tapi sepertinya Udin tak pernah ingat lagi akan keadaan Ibunya. Dalam pikiran sang Ibu. “Mungkin Udin telah hidup mewah atau ia tak ada uang lagi yang sisa untuk kirim surat.” Sangat bermacam-macam sekali perasangka yang ada dalam benak sang Ibu yang sangat merindukan anak tersayangnya. Seperti yang Al-Jahizh katakan rindu adalah konsekuensi dari cinta yang berlebihan. Tak mengerti juga sepertinya sang Ibu dengan pendapat tokoh itu. Karena ia tidak pernah baca buku dan bahkan ia tidak bisa baca tulis latin melainkan Arab Melayu. Gunjingan warga kampung mulai terdengar karena melihat Sunarti semakin kurus dan semakin terlihat tua, bertambah pula bebannya dengan gunjingan-gunjingan yang tidak nyaman di telinga. Sunarti selalu tampakkan ketegaran bila ia bersama warga kampung, uutuk memperlihatkan bahwasanya ia tidak sedih dan selalu gembira. Tetapi warga kampung tak bisa dibohongi mereka terus menyerbarkannya sampai ke telinga Sunarti. “Makanya kalau punya anak jangan di suruh kerja jauh-jauh.” Tambah warga kampung yang lainnya. “Kalau sudah jauh, apa lagi dia sekarang sudah enak enggak bakalan lagi dia ingat sama Ibunya.” Tambahan-tambahan seperti pupuk yang membuat semakin berfariasinya gunjingan itu. “Apa lagi sama orang di kampung, sedangkan dengan Ibunya saja tidak ingat...” Ia semakin sakit hati dan tertekan dengan perkataan-perkataan itu dan Sunarti juga terkadang sempat berfikir. “Apakah yang dikatakan orang kampung itu benar...?” Kebimbangan Sunarti hanya terjawab bila anaknya pulang. “Kapan Udin akan pulang...?” Pertanyaan yang selalu muncul difikirannya sebagai sosok Ibu yang terkena Virus kerinduan. *** Lima tahun kemudian. Sunarti terus menanti tanpa ada rasa bosan sedikitpun, meski tanpa ada sedikitpun burung yang membawa kabar tentang Udin. Sungguh sangat malang sekali nasib sang Ibu itu yang merindukan seseorang tanpa balas sepertinya. Ia terus berdoa untuk keselamatan anaknya. “Tuhan lindungi anakku jauhkan dari segala dosa-dosa, berikan kesehatan dan ketegaran supaya ia sukses.” Dengan penuh keikhlasan ia mendoakan anaknya. Udin sebenarnya juga selalu ingat akan ibunya tetapi, apa mau dikata keadaan yang sebegitu rumit dan sebegitu susahnya hidup di kota metropolitan. Untuk makan sehari-hari saja ia sangat sulit apalagi harus mengirim surat atau pulang kampung. Berbagai pekerjaan ia coba dari pengamen, buruh, kuli bangunan sampai calo terminal, dan sekarang ia kerja di sebuah perusahaan. Ia sangat syukur sekali dengan pekerjaan yang sekarang ia jalani meski sebenarnya ia seorang bawahan. Udin mulai mempunyai keinginan untuk kirim surat dengan ibunya karna ia juga sangat merindukan Ibunya. Malam itu pula ia membuat surat, setelah selesai ia memasukkan ke amplop. Ia pun mencari alamat yang pernah ia catat sebelum ia berangkat dulu. Ternyata tidak ketemu alamat itu sampai akhirnya ia bongkar semuanya dokumen-dokumen yang ada, tetapi tak ada hasil juga. Ia berkata sendiri pada saat kebingungan. “Apa alamat itu tercecer saat aku masih tak punya rumah dulu ya..?” kebingungan Udin membawanya tidak tidur semalam penuh. Tak juga alamat itu ia temukan. Hanya mendapat hasil ngantuk pada saat jam kerja dan ia pun mendapat omelan dari atasannya. *** Beberapa bulan kemudian ia naik pangkat alias naik jabatan, beribu syukur selalu ia panjatkan karena ia memang sangat sadar kalau itu adalah sebagian dari kasih sayang Tuhan kepada hambanya. Merangkaknya jabatan Udin tak lagi lambat tetapi meluncur seperti roket karena tidak lama dari itu ia naik pangkat lagi. Ia berpikiran, kalau ia merasa tidak sempurna jika selalu sendirian dan ia pun merasa kalu begini terus siapa yang memperhatikan dia. Udin ingin menikah dikampung jika sang Ibu merestui mereka berdua. Ibunya dulu pernah berkata, “Din...jika kau menikah Ibu Ingin sekali yang mendampingi dan kau mencari istri yang baik, terus bisa mengerti kamu dan Ibu.” Ia juga pernah berjanji pada dirinya sendiri. “Aku tak kan menikah dengan seseorang yang tidak di restui oleh ibu.” Ia pun selalu ingat perkataan itu, yang baginya sang ibu adalah seorang yang sanggup menjadi dewan juri dalam hidupnya. Malam itu ia memimpikan seorang Ibu yang merindukan anaknya sampai menangis-nangis. Udin pun langsung terjaga, sesaat dia langsung berfikir bahwasanya Ibunya sangat merindukan dia seperti seorang Ibu yang didalam mimpinya itu dan ia langsung mencuci muka (wudlu) dan melaksanakan solat tahajjud dan disertai birrulwalidain. Di teruskan doa untuk kehidupannya dan Ibunya. Calon istri Udin itu bernama Amelia yang sebenarnya takut untuk bertemu dengan calon martuanya karna Udin telah banyak cerita tentang dia dan ibunya. Sampailah waktunya Udin pulang kampung sesuai yang Ibunya harapkan. Bersamaan dengan itu pula Sunarti sakit keras dan selalu menyebut-nyebut nama Udin sampai-sampai orang di kampung itu semua bingung, mereka ingin menghubungi Udin, tetapi mereka semua tidak tahu dia ada dimana dan harus menghubungi siapa juga tidak ada yang mengetahui keberadaan Udin. “Memang Udin telah lupa dengan Ibunya.” Seorang warga pun menjawab dengan remehnya. “Biasa...!” Tambahnya dengan hati yang kesal. “Kalau orang sudah enak itu pasti lupa seperti kata pepatah itu.....Kacang lupa dengan kulitnya....Ha..ha..ha...” Perkataan itu keluar dari mulut warga karena mereka sangat kecewa sekali dengan Udin. Mereka adalah warga kampung yang menunggu saat Sunarti sakit. Dalam perjalanan Udin sangat gelisah dan ingin sekali cepat-cepat sampai kekampung. Ia merasa perjalanan itu sangat lambat sekali seakan-akan pesawat yang ia tumpangi itu sebuah becak yang terhenti-henti dan melewati jalan yang macet. Amelia terus menasehati Udin, melihat kekasihnya begitu gelisah. “Bang...yang sabar, tenanglah, Ibu pasti tidak apa-apa kok, pasti semua akan baik-baik saja.” Ia meyakinkannya dengan pelukan mesra dan sesekali ia menyandarkan kepalanya di bahu Udin sambil mengelus-ngelus punggung kekasihnya. Namun kegelisahan dan kecemasan Udin seperti tidak terobati dengan pelukan dan elusan Amelia, Udin selalu bertanya-tanya dalam hati. “Bagaimana keadaan Ibuku...?” *** Sesampainya dirumah Ibunya ia langsung teriak, “Ibu.....!Maafin Udin Bu...!”.Ibunya juga menjawab dengan sedikit terbata-bata. “Udin....Ibu sangat rindu sama kamu...!” Mereka berdua menangis dan ibunya seakan-akan langsung sehat setelah bertemu dengan anak kesayangannya. Semua warga yang menunggu heran dan calon istri Udin pun hanya terdiam dan terpaku menatap kedua insan yang sedang berpelukan itu. Udin dan Ibunya terus ngobrol sebagai pelepas rindunya. Dia pun tidak begitu memperdulikan Amelia. Ia semakin terpojok. Ia serasa menjadi orang yang sangat asing diantara Ibu dan calon suaminya.Malam itu dia duduk sendiri di depan rumah calon martuanya. “Apa sebenarnya Ibu itu tidak suka denganku.” Fikirnya selintas dengan sedikit kegelisahan dalam jiwa. “Abang sepertinya sudah tak sayang lagi denganku. Kalau dia sayang pasti dia temanin aku sekarang ini.” Gumamnya dalam hati seperti akan menangis alias ngondok-ngondok. Rindu dengan Jakarta juga seperti umpan kemelud dalam jiwa Amelia. “Mendingan aku pulang ke Jakarta. Atau ...” Seiring tetesan airmata pertama jatuh dari mata yang sayu dan mengalir di pipinya yang lebut seperti tisu. Bintang bertaburan seakan ikut merasakan kesedihan yang dialami sang gadis malang itu. Datang Udin mengagetkan dengan memukul bahu sang kekasih tercintanya. “Hai....melamun aja. Nggak kerasan ya....? Apa nggak enak tempatnya..?” Tanya udin sambil tersenyum dan terus memegang bahu Amelia yang duduk di depan teras. Amelia sama sekali tidak membuka mulutnya hanya ia menggelengkan kepala bermaksud menjawab pertanyaan yang super basi baginya. “Kok keluar..? Bukannya...” potong Udin yang sepertinya ia tahu kalau perkataan itu akan sedikit menyinggung. “Abang hanya ingin menyuruh kamu masuk. Soalnya udara malam tidak begitu bagus. Ntar masuk angin lagi kan berabe jadinya.” Nasehat Udin sepertinya dituruti olehnnya dengan gerakan kaki yang melangkah menuju pintu masuk. Tapi sedikit kesal yang menyelimuti hatinya. Namun ego Amelia selalu muncul, hanya dia yang ingin dimengerti dan ingin diperhatikan oleh Udin. Akhirnya Amelia tertidur dengan pikiran yang kalut dan sedikit ada rasa kekesalan. *** Subuh-subuh Amelia bangun yang melebihi paginya dari Udin dan Ibunya. Tetapi ia tidak keluar dari kamarnya. Dia hanya berfikir untuk pulang ke Jakarta karena ia berfirasat bahwasanya Ia di tolak secara halus oleh Keluarga Udin.dan sebenarnya ia sangat tidak kerasan hidup di kampung yang kumuh pokkoknya ....! Terlihat Amelia keluar sambil membawa koper alias tas. “Mau kemana ..? tanya sang Ibu kepadanya. Ameliah seperti gugup mendengar pertanyaan itu. “Sa...Saya mau Pulang keJakarta.” Jawabnya tetapi Udin yang langsung menumbur perkataannya. “Mau pulang...?’ Bukannya kita berangkat kesini bersama maka pulangnya bersama, dong” Tekannya supaya Amelia tidak memaksakan diri. Berdiri Udin sambil mendekatinya dan menarik tangannya masuk kedalam kamar lagi. Setelah didalam ia berbicara panjang lebar dan Sari pun mengutarakan yang ada dalam hatinya. Sari tidak jadi pulang. Setelah Ibu sembuh Amelia pun memaksakan diri untuk pulang meski harus bertengkar telebih dulu dengan Udin. Tetapi akhirnya Udin pun mengizinkannya untuk pulang. Setelah sembuh Udin mencoba mengajak Ibunya ikut ke Jakarta bersamanya. “Pokoknya Ibu tetap tidak mau tinggal di Jakarta. Ibu tidak bisa pindah dan meninggalkan kampung ini.” Ibunya terus bertahan dengan perkataannya yang membuatnya sangat bingun dan setres sekali. Udin sangat mencintai Amelia dan pekerjaannya namun ia juga sangat mencintai Ibunya dan ia merasa telah banyak membuat dosa dengan Ibunya pada saat ia pergi sangat lama sekali. Saat-saat sekarang ini Udin pun semakin setres dan semakin bingung. Dengan keadaannya seperi buah simalakama itu. Ia berangkat ke Jakarta Maka ia tidak tega dengan Ibunya, bila ia terus bersama ibunya di kampung bagaimana dengan cintanya maka ia tergolong orang yang mendustai perasaan sendiri, dan pekerjaannya juga bagaimana. Sampai akhirnya ia berfikir “Kalau saja aku sampai menyakiti Ibu berarti aku durhaka dengannya dan jika ia tidak ada maka aku juga tiada.” Dengan pemikirannya itu pula ia memutuskan kalau ia akan tetap di samping Ibunya, meski harus kehilangan pekerjaan dan harus kehilangan cintanya. Ia juga ingat bahwasanya jodoh itu Allah yang menetapkan dan rezeki itu ada dimana-mana tetapi Ibuku tidakada dimana-mana hanya satu Ibuku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar